Oleh jhon gobai ketua AMP pusat dijakarta
Di post oleh :yakobus tagi
Kita sangat jarang mengambil pelajaran dan manfaatkannya dari setiap kemajuan dan kemunduran gerakan rakyat, khususnya perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat. Sehingga lama-kelamaan "malas" (bisa saja) menjadi budaya.
Hantu "malas" itu tak hanya proses pergeseran masyarakat Papua yang awalnya "berkreasi" menjadi malas kreasi (menemukan kemampuan dan jatih dirinya) akibat keterjajahan, juga malas "berpikir". Malas berpikir yang progres akibat adanya tawaran kolonialistik menghegemoni pemikiran masyarakat Papua. Budaya malas itu terus di pupuk dengan stigma sosial kepada OAP, rasisme, represif, marginalisasi, dst.
Modal kemajuannya, rakyat Papua sadar dan paham bahwa tak ada jalan kehidupan dibawa NKRI selain mengakhirinya, menguburkan sistem yang menindas. Perjuangan untuk membebaskan manusia telah menjadi bagian dari hidup dan ter sejarah Sejak Rezim Indonesia mengkoloni (setelah Belanda). Sejak perjuangannya menjadi bahan refleksi untuk kemenangan di esok. Haruslah demikian.
Jauh lebih dalam kaum pelopor mengambil pelajaran dari setiap titik pergolakan, mesti harus menjadi pelajaran. Ini sangat jarang terjadi. Kita dituntut oleh perjuangan untuk terus berfikir dan bekerja, merumuskan sejumlah strategi dan taktik. Sebab revolusi tak menawarkan satu konsep yang permanen.
Peristiwa Rasisme Surabaya 17 Agustus pecah, lalu disambut gelombang protes peristiwa tersebut dari Papua hingga luar Papua. Anda menyaksikan lompatan kesadaran rakyat Papua: mobilisasi massa, tuntutan lebih tinggi dari mengecam rasisme adalah rakyat papua menuntut Hak Penentuan Nasib Sendiri. Oleh karena itu pengiriman militer dalam jumlah yang banyak merupakan suatu konfirmasi terkait kondisi rezim Jokowi saat itu, tentang keadaan borjuis nasional dan pemodal yang memperlihatkan batas ketenangan oleh karena (kondisi lain adalah) aksi massa rakyat Papua sepanjang 17 Agustus hingga pertengahan november 2019. Adalah aksi demonstrasi terbesar di Papua yang berakhir dengan pengorbanan, pertumpahan darah, dan penangkapan secara brutal oleh TNI/Polisi Indonesia.
Sementara kelompok oportunis Liberal itu muncul di permukaan panggung, lalu berbicara nasib rakyat Papua, bahkan teriaki merdeka, sementara mereka adalah perwakilan pemerintahan kolonial di Papua, juga anggota-anggota partai milik borjuasi.
Pelajaran paling penting dari masa rakyat Papua merupakan kesadaran akan ketertindasan, dan kemampuan memobilisasi, melakukan aksi secara spontan, hingga terorganisir. Begitu juga pelajaran lain yang bisa diambil dari peran kaum oportunis Liberal, Borjuis, juga pelajaran dari peran Organisasi pergerakan Papua Merdeka di peristiwa itu. Banyak sekali yang mesti kita amati dan menemukan kemajuan-kemajuannya, lalu menjadikannya pelajaran.
Sehingga pemikiran malas itu makin lama tak terisi oleh bahan gosip yang sering mengeneralisir kelemahan organisasi dan pejuang sebagai kekalahan, memikirkannya sejak terbit hingga terbenamnya matahari, yang bisa saja berdampak pada terbangunya skat, ketidakpercayaan, dan sulit bersatu.
No comments
Post a Comment